Sebuah poster film dengan fokus utama wajah perempuan Mareku menarik perhatian. Kecantikan khas Timur menguar sebanding dengan ketegasan dan karisma yang terpancar. Perempuan itu diapit dua pria dengan gambar latar istana Sultan Ternate dan kapal layar berbendera Portugis. Potret itu bisa jadi rekayasa karena sejauh ini tak ada petunjuk apapun tentang wajah perempuan itu. Yang jadi penanda hanyalah sebuah tulisan besar di poster itu ; Rainha Boki Raja – Ratu Ternate Abad Keenam Belas.
Linda Christanty yang menulis skenario film ini mengutip buku Toeti Heraty yang diterbitkan Komunitas Bambu dengan judul yang sama menyebut Rainha adalah puteri dari Sultan Tidore Al Mansyur yang menikah dengan Sultan Ternate Bayanullah (1500 – 1521). Mereka dikarunia dua putera yakni Boheyat dan Deyalo. Saat keduanya masih kecil, Bayanullah wafat. Rainha kemudian menikah lagi dengan Pati Serangi – salah seorang pemuka istana. Pernikahan kedua ini melahirkan satu putera bernama Tabaridji. Karena semua putera Sultan masih berusia muda, Rainha diangkat sebagai Mangkubumi. Penunjukan ini ditentang oleh Tarawuse – kerabat Sultan yang merasa berhak menggantikan Bayanullah.
Intrik kemudian terjadi berbalas penghianatan. Deyalo yang diangkat sebagai Sultan pada usia 20 tahun hanya berkuasa selama setahun. Ia disingkirkan oleh konspirasi Tarawuse dan Portugis. Deyalo melarikan diri ke Tidore. Tarawuse masih berhasrat menjadi Sultan namun rakyat Ternate yang marah kemudian membunuhnya. Tak lama setelah itu, Boheyat menjadi Sultan Ternate. Namun pusaran konflik tak berhenti. Portugis makin intens mencampuri urusan istana.
Dalam buku “Kepulauan Rempah Rempah – Perjalanan Sejarah Maluku Utara 1250 – 1950” Adnan Amal menyebut kepemimpinan Boheyat tak berlangsung lama. Ia ditangkap Portugis karena dituduh membunuh Gubernur Gonzalo Pereira. Setahun setelahnya, Boheyat kembali jadi Sultan tetapi rakyat yang muak dengan kepemimpinannya yang lemah kemudian berkosnpirasi dengan Tabaridji, saudara tirinya untuk menangkap Sultan. Ia dibuang ke Malaka dan meninggal di sana. Tabaridji lalu naik menjadi Sultan. Namun seperti sebuah déjà vu, nasib Tabaridji juga berujung kelam.
Sepanjang ketiga anaknya bergantian menjadi Sultan Ternate, Rainha ada di istana dan menyaksikan penghianatan dan konspirasi melemahkan Ternate. Ia berperan menjaga eksitensi Ternate yang dikepung Portugis dan Spanyol. Lebih dari satu dekade, Rainha ada dibelakang Sultan Deyalo (1522 – 1529), Sultan Boheyat (1529 – 1532) dan Sultan Tabaridji (1532-1535). Ia sosok Ibu yang tak pernah menyerah menjaga ketiga anaknya. Ia perempuan yang tangguh sebagaimana darah Tidore yang tak mengenal takut. Tak heran jika Portugis yang berusaha menguasai Ternate kemudian menangkap Rainha dan Tabaridji lalu membuangnya ke Goa di India.
Rainha yang lebih dikenal sebagai Boki Nukila menurut Linda Cristanty dan Toeti Heraty adalah pejuang perempuan yang menginspirasi gelora emansipasi jauh sebelum Ratu Kalinyamat, Tjut Nyak Dhien, Malahayati, Cristina Martha Tiahahu atau bahkan sebelum Kartini dan Dewi Sartika lahir. Sosok ini bukan mitos meski dalam banyak catatan sejarah, awal mula peradaban dan kepemimpinan lokal diceritakan dalam bentuk mitos semisal Sejarah Ternate dan Hikayat Bacan.
Dalam “Sejarah Ternate” yang ditulis oleh Naidah – seorang hukum Soasio (1859-1864) menyebut kekuasaan di wilayah ini memiliki latar kedekatan yang mengikat. Semuanya memiliki kelindan dengan mitos yang bermuara pada satu asal. Jailolo yang tertua, lalu Ternate dan Tidore kemudian Bacan. Naidah memberi nama alternatif untuk empat pusat kekuasaan ini yakni Besi untuk Bacan, Tuanane untuk Jailolo, Duko untuk Tidore dan Ternate sebagai Gapi. Untuk menjaga hubungan kekerabatan di antara para penguasa, ada kecenderungan untuk menikahkan puteri setiap penguasa dengan penguasa yang lain.
Di titik ini, perempuan jadi sesuatu yang banal. Ia tak hanya merekatkan keluarga para penguasa tetapi juga jadi simbol yang melahirkan peradaban. Ia bagian dari pusaran kekuasaan. Tak jarang, Ia tampil memimpin. Jauh sebelum epik Boki Nukila, peradaban Ternate mengenal kepemimpinan Momole Guna. Perempuan yang memimpin sebuah komunitas di lereng selatan gunung Gamalama dan dicatat sebagai penghuni Gapi yang pertama.
Kata “Momole” menurut Gufran Ali Ibrahim, Guru Besar Antropolinguistik Universitas Khairun Ternate berasal dari bahasa Ternate yang berarti seseorang yang dituakan. Seseorang yang ucapannya selalu dijadikan pedoman. Momole juga bisa berarti “Raja Kampung”. Diksi ini menunjukan bahwa “Momole” adalah sebutan untuk pemimpin sebuah komunitas. Tak ada penjelasan yang lebih detil mengapa seorang perempuan bisa jadi “Momole” di sebuah komunitas yang akan jadi cikal bakal Kerajaan Ternate. Tampilnya Guna menjadikan komunitas itu bebas dari bias gender. Ada persamaan hak dalam aspek kepemimpinan. Ia Ibu dari kehidupan.
Adnan Amal menyebut, keberadaan komunitas Tobona di Ternate berawal dari konflik besar yang melanda Kerajaan Jailolo pada tahun 1250. Ada perang perebutan kuasa yang mengakibatkan banyak tokoh lokal melarikan diri. Ada yang ke Moti, Tidore dan Ternate. Di Ternate, para pelarian politik ini memilih dataran tinggi Tabona sebagai tempat menetap. Itulah mengapa komunitas ini dinamai Tobona. Pemilihan dataran tinggi sangat mungkin untuk menghindari pengejaran pasukan Jailolo. Namun benarkah ada perang masa itu?
Saya meragukan tesis ini karena tak ada catatan lain yang menjelaskan perang di Jailolo. Fakta lainnya adalah semua yang “keluar” dari Jailolo memiliki kemampuan adaptasi untuk terus berkembang dan menguasai sumber daya sebagai kekuatan yang baru. Mereka juga tetap saling terhubung. Ada jejak dan prosesi adat yang nyaris sama antara komunitas di dataran tinggi Ternate dan Tidore. Begitu juga dengan Moti. Karena itu, saya menduga yang terjadi adalah perluasan daerah kekuasan baru dengan klan-klan yang saling berhubungan. Jejaring antar wilayah dibagi sesuai kepentingan klan dan tak saling mengganggu.
Di Ternate, setelah situasi membaik, sebagian anggota komunitas berpindah ke dataran yang lebih rendah di Foramadiahi. Komunitas ini dipimpin oleh Momole Matiti. Komunikasi dengan klan yang lain kian intens. Ada tukar menukar informasi dan juga ketrampilan hidup. Jika anda ke Foramadiahi saat ini, mayoritas warga di sana menggunakan bahasa Tidore dalam percakapan sehari-hari. Bukan bahasa Ternate. Fakta ini menunjukan “persamaan” asal dan visi untuk membangun kekuatan baru.
Setelah itu, peradaban berpindah ke tempat yang lebih rendah di tepi pantai. Komunitas ini mendiami wilayah Sampalo. Momole Ciko didaulat sebagai pemimpin.
Karena situasi makin membaik, tiga komunitas ini atas inisiatif Momole Guna yang perempuan itu kemudian bertemu dan melakukan musyawarah. Guna yang tertua secara terbuka menyerahkan kekuasaanya kepada Ciko. Demikian juga Matiti. Ketiganya bersatu dan memilih Ciko sebagai pemimpin yang baru. Tahun 1257, Ciko secara resmi mendeklarasikan dirinya sebagai pemimpin baru dengan sebutan Kolano atau Raja. Tahun itu, Ternate memiliki Kerajaan sendiri. Ciko mengganti namanya menjadi Mashur Malamo dan tercatat sebagai Raja Ternate yang pertama yang berkuasa tahun 1257 – 1272.
Sikap Momole Guna yang memberikan kuasa kepada Momole Ciko yang lebih muda tanpa kompensasi apapun dalam tafsir yang lebih egaliter menunjukan jika perempuan memilki visi futuristik. Ia selalu membayangkan sesuatu yang melewati batas. Seperti seorang Ibu, Ia mewariskan semua kebaikan tanpa jeda untuk sebuah masa depan. Tak berharap balasan apapun. Ia – sebagaimana Momole Guna – adalah keabadian.
Dengan itu, Saya ingat sepenggal puisi yang tulis oleh Ghad Hasan ;
Aku tak ingin menceritakan kematian Momole.
Aku ingin menceritakan bagaimana Ia hidup.
Asghar Saleh
Tinggalkan Balasan