Ketika negara dirancang untuk menghadirkan keadilan, maka wilayah yang terlalu jauh dari pelayanan dan terlalu lama menanggung keterbatasan seharusnya menjadi prioritas, bukan justru dinomorduakan. Di Halmahera Utara, suara itu menggema dari wilayah Galela dan Loloda. Di sana, pemekaran bukan sekadar agenda administratif, melainkan upaya memulihkan luka spasial yang telah diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Wacana pembentukan Daerah Otonom Baru (DOB) Galela–Loloda adalah refleksi konkret dari kebutuhan akan negara yang lebih dekat, lebih adil, dan lebih peka terhadap keragaman geografis. Dalam kerangka kebijakan pembangunan nasional, yang terus menggaungkan prinsip keadilan sosial dan pemerataan pelayanan, DOB Galela–Loloda bukan hanya tentang kepantasan saat ini, melainkan sudah sejak lama layak untuk dipertimbangkan secara serius.

Realitas Spasial: Retakan Menganga di Kepala Halmahera

Galela dan Loloda merupakan dua wilayah utara Halmahera yang luasnya mencapai 887,83 km² dan mencakup 63 desa di enam kecamatan. Namun luas itu justru menjadi ironi, karena banyak desa, terutama di Loloda Kepulauan, hanya dapat dijangkau lewat laut dengan perjalanan panjang dan penuh risiko. Dalam banyak kasus, warga yang membutuhkan akses administrasi, pendidikan, atau kesehatan terpaksa menempuh lebih berjam-jam perjalanan menuju ibu kota kabupaten di Tobelo.

Retak spasial ini bukan metafora. Ia adalah realitas pahit tentang keterbatasan negara hadir dalam wujud konkret di kehidupan sehari-hari warganya. Ketika seorang ibu hamil harus naik perahu pada malam hari untuk mencari bidan di luar kecamatan, atau ketika anak-anak di Dama kesulitan mengikuti pelajaran daring karena sinyal tidak tersedia, maka yang terjadi bukan semata-mata soal jarak, tapi tentang keadilan yang belum pernah hadir.

Bukan Wilayah Beban, Tetapi Cadangan Masa Depan

Stigma bahwa daerah baru akan menjadi beban fiskal diyakini tidak berlaku untuk Galela–Loloda. Wilayah ini menyimpan potensi geologi yang sangat menjanjikan. Potensi tambang tersebar di berbagai titik: emas (Loloda Utara, Galela Barat, Galela Utara), mangan (Loloda Utara, Loloda Kepulauan, Galela), pasir besi dan tembaga (Galela, Loloda Utara), serta bahan baku semen dan batubara di kawasan Galela.

Artinya, Galela–Loloda bukan entitas ekonomi yang kosong. Dengan kebijakan fiskal afirmatif dan penguatan kelembagaan pasca-pemekaran, wilayah ini sangat mungkin membangun sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) secara bertahap dan berkelanjutan. Ini adalah resource-based region yang selama ini hanya menjadi catatan dalam dokumen perencanaan, namun belum mendapatkan instrumen otonomi yang memungkinkan pengelolaan berbasis kepentingan lokal.

Galela–Loloda memiliki potensi pertanian dan perkebunan yang strategis, terutama dalam produksi kelapa, cengkih, pala, serta komoditas pangan seperti jagung, dan umbi-umbian. Lahan-lahan produktif di Galela dan sebagian kawasan Loloda telah lama menjadi tulang punggung ekonomi rumah tangga petani lokal. Namun potensi ini belum sepenuhnya terkelola karena keterbatasan dukungan infrastruktur, pasar, dan akses pembiayaan.

Galela–Loloda, dengan kekayaan mineral, agrikultur, dan lanskap air tawarnya, bukanlah beban negara. Ia adalah cadangan masa depan yang menunggu untuk diberi alat dan ruang agar bisa berkembang dalam sistem otonomi yang adil dan berpihak.

Pemekaran Bukan Pilihan, Tapi Kebutuhan

Penduduk Galela–Loloda pada tahun 2023 berjumlah 57.183 jiwa, yang tersebar merata di enam kecamatan. Jumlah ini setara dengan atau bahkan melebihi beberapa DOB lain Indonesia yang telah disahkan. Tapi distribusi geografisnya yang menyulitkan, membuat pendekatan pelayanan terpusat di Tobelo menjadi tidak efisien dan menyisakan banyak kesenjangan.

Hal ini tercermin dari tingginya angka prevalensi stunting di sejumlah titik: 26,26% di Galela (2022), 26,77% di Supu (Loloda Utara), dan 18,01% di Loloda Kepulauan. Artinya, selain persoalan geografis, wilayah ini juga menghadapi tantangan serius dalam pemenuhan kebutuhan dasar kesehatan anak.

Lebih jauh lagi, Indeks Desa Membangun (IDM) menunjukkan gambaran yang lebih mengkhawatirkan: seluruh desa di Loloda Kepulauan berstatus tertinggal, dengan skor rerata IDM hanya 0,5049, sementara di Loloda Utara, 17 dari 18 desa juga masuk kategori tertinggal. Ini bukan semata angka, tetapi indikator nyata dari kegagalan distribusi pembangunan.

Pemekaran menjadi penting sebagai solusi struktural yang memungkinkan penataan ulang layanan publik. Dengan adanya pemerintahan baru, pusat pelayanan dasar dapat dipindahkan lebih dekat ke desa-desa, terutama di pulau-pulau terpencil, sehingga pelayanan tidak lagi menjadi kemewahan.

Konteks Yuridis, Regulatif, dan Peluang Strategis

Galela–Loloda memiliki posisi yang sangat kuat. Wilayah ini telah terbagi ke dalam enam kecamatan dengan cakupan desa, jumlah penduduk, dan luas wilayah yang memadai untuk berdiri sebagai entitas pemerintahan tersendiri.

Dari sisi kapasitas ekonomi, Galela–Loloda menyimpan potensi pendapatan yang menjanjikan dari sektor pertambangan, perkebunan, dan pariwisata berbasis alam dan budaya. Kombinasi potensi ini menjadi dasar yang masuk akal bagi pembangunan fiskal secara bertahap dan terukur pasca pemekaran.

Meskipun secara nasional wacana pemekaran tengah berada dalam jeda kebijakan, Galela–Loloda layak dipertimbangkan. Dalam kerangka pembangunan nasional yang menekankan afirmasi bagi wilayah tertinggal dan kepulauan, pemekaran Galela–Loloda justru selaras dengan arah transformasi pemerataan layanan dan inklusi wilayah menuju Indonesia Emas 2045.

Pemekaran bukan berarti membagi-bagi kewenangan semata, melainkan strategi menghadirkan kembali negara di tempat yang selama ini hanya mendapat sisanya. Dalam logika itulah, Galela–Loloda berdiri bukan sebagai tuntutan politik, melainkan sebagai kebutuhan objektif yang bertumpu pada rasionalitas wilayah, kapasitas lokal, dan tanggung jawab nasional.

Aspirasi pemekaran Galela–Loloda bukan inisiatif sepihak elite, melainkan gerakan sosial yang telah berlangsung lama. Tokoh adat, akademisi, pemuka agama, dan pemimpin kecamatan telah menyatakan komitmennya dalam berbagai forum publik dan tertulis. Ini memperkuat legitimasi moral dan sosial dari aspirasi DOB.

Kapasitas sumber daya manusia (SDM) Galela dan Loloda terbilang cukup kuat. Banyak tokoh pendidikan, birokrat, dan profesional muda yang berasal dari wilayah ini, dan selama ini mereka justru terserap di luar daerah karena kurangnya ruang partisipasi strategis di tingkat lokal. Pemekaran justru akan membuka peluang regenerasi kepemimpinan lokal, penataan kelembagaan yang lebih adaptif, dan desentralisasi pelayanan yang lebih efektif.

Dari sisi kelembagaan, wilayah ini memiliki jaringan birokrasi kecamatan yang telah berjalan stabil, serta SDM ASN potensial untuk pengisian jabatan struktural di pemerintahan baru. Lokasi calon pusat pemerintahan pun relatif siap: Galela sebagai simpul administratif dan Loloda sebagai simpul maritim.

Pemekaran: Koreksi Historis dan Investasi Moral

Galela–Loloda adalah wilayah dengan identitas sosial dan budaya yang khas. Mereka telah menjadi bagian dari sistem pemerintahan Halmahera Utara selama dua dekade, tetapi bukti menunjukkan bahwa being governed tidak selalu berarti being served. Ketika pemerataan hanya menjadi janji dalam RPJMD, dan realisasi anggaran selalu menjauh dari kawasan ini, maka pemekaran menjadi bentuk koreksi historis dan keadilan terstruktur.

Lebih dari itu, pemekaran adalah investasi moral negara terhadap wilayah yang selama ini hanya disebut dalam dokumen, tapi jarang dijangkau secara nyata. Ia menjadi jawaban atas ketimpangan fiskal, politik, dan spasial yang tak bisa lagi dibiarkan.

Pemekaran ini bukan sekadar restrukturisasi birokrasi, tetapi langkah menjahit kembali keping-keping keadilan yang lama terputus. Karena jika negara ingin benar-benar hadir, maka ia harus hadir lebih dekat, lebih setara, dan lebih bersungguh-sungguh. Bahwa warga negara di ujung utara Halmahera ingin disapa sebagai bagian utuh dari republik, bukan hanya ketika pesta demokrasi tiba, tetapi saat mereka membutuhkan air bersih, vaksin, dan jawaban atas hak dasar mereka.

Secara historis, warga Galela dan Loloda telah menunjukkan identitas kolektif yang mandiri, tidak sedikit dari mereka yang menjadi pionir dalam gerakan pendidikan, sosial, dan keagamaan di wilayah Maluku Utara. Namun secara administratif, mereka tetap menjadi ‘wilayah terluar’ dalam relasi pusat-perifer dalam Kabupaten Halmahera Utara. Dari situlah muncul pertanyaan mendasar: sampai kapan pusat pemerintahan harus selalu berada jauh dari rakyat yang dilayaninya?

Pemekaran Galela-Loloda, bila ditata dengan benar, justru menjadi bentuk rekognisi atas sejarah dan kapasitas sosial masyarakatnya. Ini adalah bentuk keadilan restoratif atas ketimpangan pelayanan, sekaligus upaya afirmatif untuk menghadirkan pemerintahan yang lebih dekat, lebih tanggap, dan lebih partisipatif.

Mereka yang skeptis terhadap pemekaran kerap berpegang pada argumen tentang keterbatasan fiskal negara. Namun perlu dipahami bahwa beban fiskal bukanlah argumentasi tunggal yang sah untuk menolak aspirasi DOB. Jika desain kelembagaan baru dirancang dengan efisiensi dan pemetaan yang baik, justru DOB bisa menciptakan struktur pemerintahan yang lebih ramping dan responsif terhadap kebutuhan lokal. Ini dapat mengurangi biaya sosial akibat ketidakhadiran negara dalam bentuk layanan yang buruk, konflik horizontal, maupun migrasi paksa karena pembangunan yang timpang.

Di Pantai Dorume, angin tak pernah berhenti berhembus, seolah menyampaikan pesan yang tak kunjung dijawab: bahwa anak-anak di sana masih menunggu ruang kelas yang layak dan guru yang tak harus menyeberangi laut. Di Tobo-Tobo, taman laut yang cantik itu tak pernah kehilangan warnanya, tapi entah sejak kapan kehilangan harapan bahwa keindahan bisa membawa kesejahteraan.

Pantai Tongowai dan Deherete menatap laut yang sama, yang setiap hari mengantar warga mencari pertolongan ke tempat yang terlalu jauh untuk disebut adil. Teluk Somola masih memeluk daratan dengan lembut, seperti ibu yang tak ingin anaknya pergi karena terpaksa mencari masa depan di tanah yang bukan miliknya.

Telaga Biru dan Telaga Duma tetap setia memantulkan langit yang tenang, tapi di dalamnya menyimpan getir: di sini, air jernih lebih mudah ditemukan daripada akses kesehatan. Di bawah Air Terjun Samuda dan Sapoli, suara gemuruhnya mungkin tak sekeras sunyi yang dirasakan masyarakat saat negara hanya datang untuk mencatat, bukan membangun.

Dan di kaki Gunung Api Lisawa, di tengah laut biru yang menyala di dasar Halmahera, bumi ini masih bernapas, tapi apakah republik ini masih mendengar napas kami?

Galela–Loloda tidak pernah meminta lebih dari yang layak mereka terima. Mereka tidak pernah menuntut keistimewaan. Mereka hanya ingin merasa dihitung. Mereka hanya ingin hidup seperti warga negara lain: dekat dengan harapan!

Jika negara bisa membangun jembatan di tempat lain, mengapa di sini bahkan suara pun belum bisa menyeberang? Mereka tidak meminta istana. Mereka hanya ingin dipeluk. Oleh negara yang katanya satu, oleh republik yang katanya adil, oleh tanah air yang katanya rumah!

 

Dr. Ir. Husnullah Pangeran

Ketua PW Persatuan Insinyur Indonesia Provinsi Maluku Utara