Dari Jakarta, Halmahera Timur barangkali hanya terlihat sebagai segmen kecil dari gugusan timur Nusantara, atau mungkin lebih sering disebut sebagai data daripada diajak bicara sebagai ruang hidup. Dalam dokumen RPJM Nasional 2025–2029, Halmahera Timur tercantum, tapi belum tentu benar-benar dibaca. Dihadirkan, tapi belum tentu diperhitungkan!

Namun, Halmahera Timur tengah menggeliat. Dengan visi “Halmahera Timur BerBeNah Menuju Transformasi Kemajuan”, Bupati-Wakil Bupati 2025-2029 menyatakan keberanian untuk keluar dari paradigma pembangunan administratif yang beku dan menyambut pembangunan transformatif yang tangkas, bersih, dan amanah. Kata “BerBeNah” bukan sekadar akronim, melainkan kontrak moral politik untuk menertibkan arah, menegaskan tujuan, dan memberanikan langkah.

Halmahera Timur tidak sekadar menunggu arahan dari pusat. Ia menyusun rencananya sendiri. Tahun 2025–2029 adalah tahap awal dari periodesasi RPJPD Halmahera Timur 2025–2045, dengan visi jangka panjang yang disematkan dalam satu kata kuat: “Tanberahi”. Kata yang berasal dari bahasa lokal ini berarti “akan dia bagus” – sebuah janji masa depan. Dalam konteks RPJPD, ia bermakna lebih luas: pusaT pertaNian/pertambaNgan/perikanaN BERnilai tambAH dan Inklusif. Tanberahi adalah cara Halmahera Timur membingkai dirinya dalam kerangka nasional dan global, dengan percaya diri dan keunikan lokal.

Dari Pusat ke Daerah: Mencari Irama yang Selaras

Arah Pembangunan Kewilayahan RPJM Nasional 2025–2029 telah menandai sejumlah wilayah di Maluku Utara sebagai simpul baru transformasi ekonomi berbasis sumber daya mineral. Namun, di tengah gema kebijakan hilirisasi dan industrialisasi nikel nasional, Halmahera Timur justru terasa seperti nada yang tertinggal dalam orkestra pembangunan. Sementara Fagogoru Halmahera Tengah dan Saruma Halmahera Selatan telah lebih dahulu memainkan simfoni transformasi melalui kawasan industri strategis dan jaringan logistik tambang, Halmahera Timur masih berdiri di ruang tunggu.

Di sisi lain, pusat (dalam RPJMN) melihat Halmahera Timur dalam bingkai strategis yang cukup kompleks: kawasan industri Buli, perbatasan Maba Utara, potensi swasembada pangan dan bluefood (pangan aquatik), simpul pendidikan vokasi, hingga pelestarian kawasan konservasi. Semuanya benar adanya, tetapi belum cukup menyatu. Seolah Jakarta memainkan banyak instrumen, tetapi lupa mengundang Halmahera Timur ke ruang orkestrasi.

Kesenyapan ini bukan semata karena pusat tidak melihat. Bisa jadi karena daerah belum cukup bersuara. Bisa pula karena ruang konsultasi spasial antara pusat dan daerah tidak pernah benar-benar berlangsung dua arah. Ketika saudara-saudaranya telah berlari dalam kerangka proyek strategis nasional, Halmahera Timur masih sibuk mengukuhkan posisinya: apakah ia akan dilibatkan sebagai subjek, atau tetap menjadi pelengkap dalam harmoni wilayah?

Inilah tantangan besar pembangunan kewilayahan: menciptakan irama yang tidak seragam, tetapi selaras. Daerah seperti Halmahera Timur tidak butuh penyeragaman, melainkan afirmasi. Maka, transformasi tak boleh sekadar dirumuskan dari pusat ke daerah, tapi perlu dirancang bersama, dengan Halmahera Timur sebagai penentu tempo untuk wilayahnya sendiri.

Meneguhkan Posisi Halmahera Timur

Kritik Halmahera Timur dari kacamata Jakarta mungkin tidak selalu tentang prioritas, tetapi keadilan spasial. Kawasan Industri Buli, misalnya, bukan sekadar kawasan pengolahan nikel. Ia adalah poros potensial hilirisasi berbasis sumber daya lokal yang jika dikembangkan secara inklusif, dapat menghidupkan sektor lain: energi, logistik, pendidikan vokasi, hingga UMKM penyangga. Sayangnya, selama ini proyek-proyek strategis nasional lebih banyak dibangun untuk kebutuhan nasional, bukan untuk memperkuat basis wilayahnya sendiri.

Apakah Halmahera Timur akan kembali menjadi periphery yang menyumbang tetapi tidak tumbuh? Atau ia akan menjadi poros baru pembangunan timur Indonesia dengan logika baru yang menghargai peranan daerah?

Jawaban atas pertanyaan ini tidak bisa datang sepihak dari pusat. Pemerintah Kabupaten Halmahera Timur perlu menegaskan posisinya: bahwa Tanberahi bukan mimpi kosong. Ia adalah cetak biru dari niat baik yang ingin bertemu dengan kemauan politik pusat.

Pendidikan dan Kesehatan: Pilar yang Rentan

Program penguatan pendidikan vokasi berbasis potensi tambang di Halmahera Timur dalam RPJMN, tampaknya menjanjikan. Namun tanpa keterlibatan kurikulum lokal, tenaga pengajar yang memahami konteks wilayah, serta fasilitas yang manusiawi, pendidikan hanya akan jadi industri penyalur tenaga kerja murah. Hal yang sama berlaku dalam sektor kesehatan: pembangunan layanan telemedisin, fasilitas rujukan, dan puskesmas terpencil tak akan berdampak jika tidak ada insentif bagi tenaga kesehatan, atau jika kebutuhan logistik dasar tetap diabaikan.

Kewilayahan bukan sekadar zonasi, melainkan relasi. Setiap kebijakan yang tidak disusun berdasarkan dialog antara pusat dan daerah akan berisiko membangun “ruang tanpa manusia”. Halmahera Timur bukan ruang kosong yang menanti diisi. Ia adalah entitas hidup yang memiliki ingatan, harapan, dan perlawanan.

BerBeNah Menuju Tanberahi: Momen Penegasan Arah

Visi “BerBeNah” dengan nilai Berani, Bersih, dan Amanah adalah fondasi moral politik yang dibutuhkan daerah yang selama ini lebih sering dilihat sebagai “lokasi” daripada “aktor”. Dalam lima tahun ke depan, Pemerintah Kabupaten Halmahera Timur punya momentum penting: menjadi pelaksana RPJMD sekaligus penjaga arah transformasi jangka panjang RPJPD. Inilah dua garis tanggung jawab sejarah yang harus dijalankan dalam satu tarikan nafas.

Momen ini bukan hanya soal merancang kebijakan, tapi soal membangun etos daerah. Bahwa Halmahera Timur tidak sedang mengikuti ritme pembangunan nasional secara pasif, melainkan sedang menulis babak baru sejarah regionalnya sendiri. “Tanberahi” tidak hanya sebuah visi; ia adalah bentuk keberanian lokal untuk menegaskan bahwa kemajuan bisa dibangun tanpa harus meninggalkan karakter, dan bahwa inklusivitas bisa menjadi strategi, bukan hanya jargon.

BerBeNah memberi rambu etika. Tanberahi memberi arah struktur. Maka, keberhasilan Halmahera Timur ke depan ditentukan bukan oleh seberapa cepat ia mengejar ketertinggalan, tapi seberapa sadar ia merancang kemajuan atas dasar pilihan yang otonom dan terukur. Ini berarti membangun kapasitas birokrasi yang lentur namun tegas, merajut kepercayaan publik, dan membangun dialog yang setara dengan pemerintah pusat, bukan sekadar mengikuti, tapi memengaruhi.

Transformasi tak cukup hanya dicanangkan, melainkan harus dijalankan dengan disiplin, diikuti dengan keberanian untuk membongkar pola lama, dan disertai ketekunan untuk mengelola ruang-ruang baru: ruang fiskal, ruang koordinatif, ruang narasi, dan yang terpenting, ruang bagi warga Halmahera Timur untuk terlibat dalam pembangunan sebagai pelaku, bukan penonton.

Jika “BerBeNah” adalah kompas nilai, maka “Tanberahi” adalah cakrawala. Di antara keduanya, Halmahera Timur punya peluang emas untuk tidak sekadar mengikuti arah pembangunan nasional, tapi ikut menentukannya.***

 

Dr. Ir. Husnullah Pangeran

Ketua PW Persatuan Insinyur Indonesia Provinsi Maluku Utara