“Pemprov tidak bisa membayar DBH berdasarkan desain program kabupaten kota. Karena utang DBH bukan Tresuary Deposit Facilities (TDF) yang ada prasyaratnya,” Dr. Aziz Hasyim.

 Okebaik- Kebijakan Gubernur Maluku Utara, Sherly Tjoanda hanya membayar Dana Bagi Hasil (DBH) Kabupaten Halmahera Utara (Halut) dan Kabupaten Halmahera Barat (Halbar), tanpa menghiraukan 8 kabupaten kota lainnya, terus menuai kecaman.

Sebelumnya Wali Kota Tidore, Muhammad Sinen lantang menyuarakan agar Pemerintah Provinsi Maluku Utara segera menyelesaikan pembayaran DBH senilai sekitar Rp43 miliar yang belum disalurkan sejak tahun 2022 hingga 2024.

Desakan serupa juga datang dari Kabupaten Halmahera Tengah (Halteng). Wakil Ketua I DPRD Kabupaten Halteng, Munadi Kilkoda mengungkapkan, utang DBH yang belum dibayarkan Pemprov Malut ke Pemda Halteng sejak 2022 hingga 2024 itu, mencapai lebih dari Rp204 miliar.

Mencermati dinamika protes beberapa pemerintah atas kebijakan diskriminatif Gubernur Maluku Utara, Sherly Tjoanda terkait pembayaran DBH ini pun mendapat tanggapan dari akademisi Universitas Khairun (Unkhair) Ternate, Dr. Aziz Hasyim.

Doktor perencanaan pembangunan wilayah dan perdesaan ini meminta Gubernur Maluku Utara, Sherly Tjoanda segera mengambil langkah bijaksana dengan mengundang 8 kepala daerah yang DBHnya belum dibayar dan OPD tekhnis untuk mendiskusikan terkait proses pembayaran DBH. Sekaligus menyampaikan alasan yang mendasari kenapa 2 kabupaten (Halut dan Halbar) yang lebih didahulukan.

“Bahkan kalau perlu ibu gubernur secara elegan menyampaikan permohonan maaf jika langkah atau kebijakannya mendahulukan 2 kabupaten ini dipandang keliru,” ungkap Aziz Hasyim.

Menurutnya, yang dipersoalkan 8 kabupaten kota itu kenapa hanya 2 kabupaten yang dibayarkan DBHnya, sedangankan yang lain tidak dibayar. Jika hanya ini yang dipersoalkan, lanjut Aziz Hasyim, maka gubernur cukup menjawab dengan argumen yang rasional dan bisa diterima semua pihak.

Ia mengingatkan gubernur agar tidak menggunakan alasan transparansi, basis regulasi, audit dan kemampuan fiskal daerah. Sebab, jika disandingkan dengan faktanya memang argumen ini tidak tepat. Apalagi menganggap ada kabupaten kota seolah punya komunikasi pemerintahan yang kurang baik.

“Janganlah kita membiasakan menghadapi permasalahan dengan menunjuk dengan telunjuk kita. Padahal jempol kita menahan 3 jemari kita untuk menunjuk balik pada diri kita,” tegas Aziz Hasyim.

Azizi menegaskan, DBH merupakan hak kabupaten kota, sehingga basis pembayarannya adalah rekon data kurang bayar DBH transfer provinsi ke kabupaten kota. Jika sudah final datanya, maka pemprov langsung transfer ke kabupaten kota.

“Pemprov tidak bisa membayar DBH berdasarkan desain program kabupaten kota. Karena utang DBH bukan tresuary deposit facilities (TDF) yang ada prasyaratnya,” urai Aziz.

“Urusan DBH dipergunakan untuk apa itu bukan wewenang provinsi. Tugas provinsi hanya menyelesaikan utang DBH, itu saja. Ilustrasinya seperti ini, ketika si A berhutang kepada si B dan si C, maka utang itu harus dibayar ketika si A sudah memiliki uang tanpa harus menunggu si B dan si C memiliki kebutuhan penting baru si A bayar. Karena urusan kebutuhan si B dan si C itu, bukan urusan si A,” sambung Aziz menjelaskan.

Dosen ekonomi Unkhair ini menilai, problem utang DBH Pemprov Malut ini sudah ada sejak dulu. Meski demikian, pemda kabupaten kota pun tidak mempersoalkannya karena mereka juga tau pasti akan dibayarkan walaupun dilakukan secara bertahap.

“Yang jadi soal sekarang adalah kenapa hanya 2 kabupaten yang dibayar. Sementara utang DBH ini di 10 kabupaten kota. Sebenarnya dititik ini saja problemnya,” ucap Aziz.

“Jika dana yang tersedia untuk cicil utang DBH kabupaten kota hanya Rp19 miliar. Maka jangan hanya bayar Halbar Rp10 miliar dan Halut Rp9 miliar. Tapi didistribusikan secara merata di 10 kabupaten kota, meski hanya sedikit. Ini lebih bijaksana dan tidak ada yang merasa didiskriminasi oleh gubernur,” sambungnya.

Apalagi, kata Aziz, Gubernur tidak memberikan alasan yang jelas kenapa 2 kabupaten ini yang DBHnya didahulukan.

“Selama ini memang belum ada cara membayar DBH seperti yang dilakukan Gubernut Malut saat ini. Karena selama ini, walau pembayarannya dicicil tapi 10 kabupaten kota semua dibayarkan dengan persentase yang berbeda-beda,” urai Aziz, mengakhiri. ***