Okebaik- Puluhan warga Desa Waijoi dan Desa Jikomoi, Kecamatan Wasile Selatan, Kabupaten Halmahera Timur (Haltim), Provinsi Maluku Utara (Malut) membuat gugatan perbuatan melawan hukum (PMH) terhadap PT Wana Kencana Mineral (PT WKM) ke Pengadilan Negeri Soasio.
Perusahaan tambang nikel ini digugat lantaran diduga menyerobot dan merusak tanaman kebun di tanah adat warga setempat, kemudian mengklaimnya dengan Izin Usaha Pertambangan (IUP) Nomor: 299/KPTS/MU/2016.
Gugatan yang diajukan 23 warga sejak, 18 April 2024 sebagaimana gugatan Nomor: 7/PDT.G/2024/PN.Sos, kini telah memasuki tahapan sidang pemeriksaan setempat (PS) di lokasi tanah yang disengketakan warga dengan PT WKM, Rabu (28/08/2024).
Sidang PS dipimpin langsung Ketua Majelis Hakim, Rudy Wibowo dihadiri 23 warga selaku penggugat, pihak perusahaan selaku tergugat I, Kepala Desa Jikomoi selaku tergugat IV, Kepala Desa Waijoi selaku tergugat V, kemudian diikuti pihak Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Halmahera Timur.
Menurut Ketua Tim Kuasa Hukum penggugat, Halil Hadad, SH, para kliennya merupakan penduduk asli Waijoi dan Jikomoi yang tunduk dan taat pada hukum adat, tentang hak ulayat atas tanah yang disebut hale kolano di bawah kekuasaan Kesultanan Tidore.
“Tanah hale kolano tersebut telah dimiliki klien kami sebagai masyarakat hukum adat Desa Waijoi dan Jikomoi, dan yang kini disengketakan dengan PT WKM itu seluas kurang lebih 60 hektar,” urai Halil.
Halil menjelaskan, tanah Hale Kolano ini sudah sejak dahulu dikelola masyarakat secara turun-temurun, sesuai yang dinobatkan Sultan Tidore. Apalagi, hak ulayat secara yuridis diatur pula dalam pasal 3 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria.
Selain itu, berdasarkan keputusan Sultan Tidore atau yang disebut Idin Kolano Nomor:26/IKT/III/2012 tanggal 30 Maret 2012 tentang standarisasi ganti rugi Hale Kolano.
“Kedudukan tanah adat dan hutan adat secara nasional telah dipertegas pula dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 35/PUU-X/2012 tanggal 26 Maret 2012 yang dalam putusannya menegaskan, bahwa hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat,” urai Halil.
Tidak hanya itu, sebelumnya Sultan Tidore pun telah memperingatkan kepada para investor yang berinvestasi di wilayah Kesultanan Tidore, termasuk tergugat I PT WKM melalui surat nomor: 09/KST/III/2021 tanggal 10 Maret 2021.
“Isi peringatan itu agar para investor harus berhati-hati dan harus saling menghargai masyarakat adat di sekitar tambang sehingga mereka tidak menjadi korban karena adanya investor,” timpalnya.
Halil bilang, adapun turut tergugat I dalam hal ini Kementerian ESDM juga dimohon segera mencabut IUP yang dikeluarkan tergugat II Gubernur Maluku Utara yang digunakan PT WKM untuk melakukan aktivitas penambangan di areal objek sengketa tanpa memikirkan hak-hak para penggugat, yang akibatnya merusak segala tanaman kebun, serta sangat merugikan kehidupan ekonomi masyarakat hukum adat.
Halil mengaku, ada kesepakatan antara warga di 3 desa, Waijoi, Jikomoi, dan Loleba dengan PT WKM melalui pertemuan yang dimediasi Pemerintah Kabupaten Halmahera Timur pada 7 Oktober 2021, dan berujung dibuatnya berita acara yang menyepakati 2 poin
Poin pertamanya, kata Halil, sudah diselesaikan PT WKM berupa ganti rugi lahan seluas 7,8 hektare dengan dana kompensasi senilai Rp 75 juta.
Hanya saja, PT WKM tidak menyelesaikan kesepakatan pada poin kedua yakni ganti rugi tanah seluas 60 hektare milik para penggugat yang merupakan lahan di luar areal 7,8 hektare tersebut.
“Oleh karena itu perbuatan PT WKM ini patut dinilai sebagai perbuatan melawan hukum,” tegas dia.
Anggota Tim Kuasa Hukum penggugat lainnya, Musawir Muhajirin menambahkan, gugatan mereka sudah sampai pada sidang PS oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Soasio.
Saat pelaksanaan sidang PS di lokasi sengketa memang benar terdapat tanaman kebun milik warga yang tersisa usai adanya pembukaan galian tambang.
“Pada lokasi klien kami itu memang jelas ada tanaman kebun seperti pohon kelapa, pohon nangka yang sudah berbuah. Itu sisa tanaman yang belum digusur perusahaan,” kata Musawir usai PS.
Musawir berharap, gugatan terhadap PT WKM ini bisa mendapatkan putusan yang adil bagi masyarakat, para penggugat dengan adanya ganti rugi yang layak atas tanah ulayat tersebut.
Humas Pengadilan Negeri Soasio, Made Riyaldi yang ditemui di lokasi kantor PT WKM mengatakan, kehadiran majelis hakim untuk melaksanakan PS di objek sengketa warga dengan PT WKM.
“Majelis hakim hari ini mengagendakan untuk dilakukan setempat yang pemeriksaan setempat ini dihadiri semua pihak dari penggugat, tergugat, dan majelis hakim,” kata Made.
Menurut Made, tujuan dari PS ini adalah untuk memastikan ada objek perkara dalam gugatan yang diajukan, kemudian melihat batas-batas objek benar-benar ada atau tidak.
“Sehingga nanti memudahkan apabila perkara ini dimenangkan oleh salah satu pihak bisa dilakukan eksekusi,” timpal dia.
Ia menambahkan, setelah agenda PS maka selanjutnya akan diagendakan sidang pembuktian dari para pihak penggugat maupun tergugat.
“Pembuktian, kesimpulan baru putusan,” pungkasnya.
Legal Officer PT WKM, Aryo Pramono mengatakan, pelaksanaan sidang PS sudah berjalan dengan aman dan lancar. Semua titik-titik yang ditentukan para penggugat pun sudah ditetapkan pengadilan.
Pihaknya selaku tergugat I, kata dia, kini tinggal menunggu hasil pengukuran dari BPN Halmahera Timur terkait dengan titik-titik koordinat batas tanah objek sengketa yang ditunjukan para penggugat.
“Maka selanjutnya kita tinggal menunggu jadwal persidangan kembali di pengadilan Tidore,” kata Aryo.
Aryo menyebutkan bahwa alas hak yang dipakai PT WKM adalah IUP, mulai dari pencadangan, eksplorasi, hingga operasi produksi. Alas hak yang dimaksudkannya itu sudah diserahkan ke majelis hakim.
“Jadi semuanya sudah kita sajikan di persidangan, sudah kita serahkan ke majelis hakim dan semua sudah sesuai dengan aslinya,” ujarnya.
Aryo menambahkan, para penggugat juga telah menyerahkan bukti-buktinya atas klaim objek sengketa tersebut ke persidangan, seperti surat-surat dari Kesultanan Tidore.
“Ada berapa surat itu saya juga lupa, kemudian ada Peraturan Wali Kota Tidore. Jadi perlu dipahami bahwa ini adalah Halmahera Timur bukan pemerintahan dari Kota Tidore,” cetusnya.
Ditanya respon PT WKM bila gugatan ini dimenangkan para penggugat, Aryo mengaku belum bisa menyikapinya dan pihaknya masih menunggu putusan pengadilan.
“Kalau terkait dengan pertanyaan seperti itu kami belum ada sikap apapun, karena itu kewenangan dari manajemen pusat, kami di sini hanya melaksanakan di lapangan saja,” pungkasnya.
Kepala Desa Jikomoi, Ans Canu selaku tergugat IV dalam kesempatan itu mengatakan, setahunya status tanah 60 hektare yang diklaim milik kelompok masyarat adat itu tidak jelas.
Dia mengatakan, objek sengketa yang dilakukan pengecekan bersama saat sidang PS itu memang wilayah Jikomoi. Tetapi menurutnya, bukti di lapangan tidak ada sama sekali tanaman kebun seperti pohon cengkih, pohon kelapa, pohon pala, dan tanaman bulanan.
“Itu jelas tidak ada, sehingga menurut saya bahwa laporan yang ada itu direkayasa, tidak jelas,” tegas Ans.
Ia pun mengaku tidak tahu alasan penggugat menjadikannya sebagai tergugat IV. Meski begitu, menurutnya kemungkinan gugatan ini dibuat 23 warga karena belum adanya pembayaran tali asih dari PT WKM sebelum beroperasi di tahun 2021. Belum adanya pembayaran tali asih itu baginya bukan kesalahan PT WKM melainkan kesalahan tiga desa, Waijoi, Jikomoi, dan Loleba perihal batas wilayah desa.
Imbas dari itu, PT WKM, kata dia, terpaksa terlambat membayar tali asih dan baru dibayarkan tahap pertamanya pada sekitar bulan 6 atau 7 tahun 2024 ini.
“Mungkin itu karena keterlambatan pembayaran tali asih sehingga menurut saya kelompok itu bikin laporan (gugatan) ke pengadilan. Tetapi bukan kesalahan perusahaan itu,” jelas dia.
Ia pun tidak menampik bahwa tali asih yang dimaksud bukanlah ganti rugi lahan melainkan sebagai pembayaran “tanda permisi” dari perusahaan karena melakukan aktivitas pertambangan di suatu wilayah.
“Sehingga ada tanda penghargaan atau tanda permisi. Sehingga perusahaan lakukan tali asih itu dengan permeter Rp 2.500,” ucapnya.
Ia pun mempertegas klaim kepemilikan tanah yang disebut tanah ulayat oleh 23 warga ini tidak melibatkan pemerintah desa. Kemudian, klaim itu pun kata dia, hanya pengakuan lisan dan tidak memiliki dasar hukum yang sah dari pemerintah.
“Cuma sebatas cerita tapi secara peraturan pemerintah daerah itu belum ada kesepakatan atau ada hukum mengatakan bahwa itu tanah adat, tidak ada,” kata dia.
Sementara Kepala Desa Waijoi, Abner Wararak yang hadir dalam sidang PS di lokasi objek sengketa menolak memberikan keterangan saat hendak diwawancarai Okebaik.
Tetua Adat Wasile Selatan, Stepanus Tjojong yang dikonfirmasi terpisah menyebutkan, tanah yang diklaim 23 warga Waijoi dan Jikomoi itu memang benar dikelola secara turun-temurun oleh masyarakat adat di bawah Kesultanan Tidore.
“Kami berpegang dengan tanah ulayat. Itu masyarakat adat yang tidak dibuktikan kepemilikannya itu sepenuhnya kekuasaan oleh Sultan Tidore sebagai pemerintah adat tertinggi,” ungkapnya.
Untuk diketahui, sebelumnya tergugat I dan tergugat II dalam eksepsinya menilai bahwa perkara yang diajukan 23 warga atau para penggugat, ini tidak bisa diadili Pengadilan Negeri melainkan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Alasannya, bahwa yang diperkarakan itu merupakan sengketa tata usaha negara.
Alhasil pada tanggal 18 Juli 2024, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Soasio yang diketuai hakim Rudy Wibowo, SH.,MH, dalam putusan sela atas perkara gugatan ini telah mengadili, menolak eksepsi tergugat I dan tergugat II tersebut. Menyatakan, pengadilan negeri berwenang mengadili perkara ini, dan memerintahkan kedua belah pihak untuk melanjutkan persidangan. (tr01)
Tinggalkan Balasan