Okebaik- Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mengusut tuntas keterlibatan perusahan tambang dalam skandal suap Gubernur Maluku Utara, Abdul Gani Kasuba (AGK).

Desakan JATAM ini setelah  Direktur Eksternal PT. Trimegah Bangun Persada (TBP) Harita Group, Stevi Thomas (ST) ikut terseret dalam skandal suap Gubernur Maluku Utara. Stevi, bahkan menjadi salah satu tersangka yang ditetapkan KPK, Rabu (20/12/2023).

Koordinator JATAM, Melky Nahar dalam keterangan persnya, Kamis (21/12/2023) mengatakan, dugaan suap terhadap Gubernur AGK sesungguhnya tidak hanya sebatas pelelangan jabatan dan pengadaan barang dan jasa.

Melky mencurigai dugaan suap juga pasti melibatkan perusahan-perusahan tambang yang beroperasi di Maluku Utara, guna mempermudah  proses penerbitan izin tambang, pembahasan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), hingga pembiaran operasi perusahaan tambang yang melanggar regulasi.

Apalagi selama menjabat Gubernur Malut, kata Melky, AGK tercatat mengobral 54 Izin Usaha Pertambangan (IUP). Dari seluruh IUP yang diobral AGK itu, ada 26 IUP diduga bermasalah karena melanggar UU Minerba No 4 Tahun 2009 (sebelum direvisi menjadi UU No 3 Tahun 2020) dan PP No 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara serta Peraturan Menteri ESDM No 25 Tahun 2015 Tentang Pendelegasian Wewenang Pemberian Perizinan Bidang Pertambangan Mineral dan Batubara.

“Izin-izin tambang yang bermasalah itu, empat di antaranya dikeluarkan kepada PT Halmahera Jaya Mining, PT Budhi Jaya Mineral, CV Orion Jaya, dan PT Kieraha Tambang Sentosa. PT Budhi Jaya Mineral merupakan anak perusahaan Harita Group yang beroperasi di Pulau Obi, Halmahera Selatan,” ungkap Melky.

“Langkah ini patut dibaca sebagai bagian dari transaksi gelap antara kepentingan perusahaan tambang dan Gubernur AGK,” cetus Melky.

Melky menilai, skandal suap yang melibatkan AGK dan ST ini menunjukkan praktek pengelolaan pertambangan di Maluku Utara yang penuh dengan transaksional. Elit politik lokal dan pengusaha tambang justru bersekongkol, mengeruk kekayaan tambang untuk kepentingan diri dan kelompok.

Menurut Melky, keterlibatan Direktur Hubungan Eksternal PT Trimegah Bangun Persada Tbk (Anak perusahaan Harita Group), Stevi Thomas dalam skandal suap Gubernur Malut harus menjadi pintu masuk KPK untuk menelusuri sejauh mana keterlibatan perusahan-perusahan tambang dalam praktek-praktek kotor seperti ini.

“Praktik korupsi di sektor pertambangan ini diduga tidak hanya terkait antara AGK dengan petinggi Harita, tetapi juga diduga dengan perusahaan-perusahaan tambang lainnya, yang izinnya diterbitkan selama AGK menjabat sebagai gubernur,” tuding Melky.

Bagi Melky, proses hukum terhadap AGK dan sejumlah tersangka lainnya, mestinya tidak hanya berkutat pada korupsi lelang jabatan dan proyek pengadaan barang dan jasa semata, tapi juga harus menyasar praktik korupsi di sektor pertambangan yang telah lama mengendap tanpa penegakan hukum.

“Proses hukum atas AGK dan para tersangka lainnya juga mesti menjangkau aspek kerugian negara, termasuk yang dialami oleh warga, tempat di mana perusahaan-perusahaan beroperasi,” jelas Melky.

Salah satunya, sambung Melky, terkait rencana operasi perusahaan tambang nikel PT Priven Lestari. Konsesi perusahaan yang mencapai hampir 5000 hektar itu, mencaplok lahan dan mengancam saru-satunya sumber air warga di Kecamatan Buli, Halmahera Timur.

“Konsesi perusahaan ini juga berada di kawasan hutan. Rencana penambangan yang berlangsung di tengah derasnya penolakan warga ini, sarat dengan politik transaksional. Salah satu indikasinya melalui otak-atik RTRW Halmahera Timur untuk mengalokasikan ruang tambang di ruang hidup warga,” tandas Melky. ***

Oke Baik
Editor