Di tengah badai penindasan yang semakin kuat dan kebijakan negara yang semakin tidak terarah pada kepetingan rayat, disertai dengan berbagai regulasi yang memperketat kepetingan borjuis nasional, pada ahirnya harus mengkebiri rakyat sebagai simbol kepentingan.

Perampasan ruang hidup semakin, demokrasi hanya ajang menciptakan dinasti. Tanah-tanah petani di pedesaan semakin laju di rampas tampa batas. Di tengah itu, suara pabrik dan kecalakaan kerja makin massif. Nelayan semakin terasing denggan lautan akibat di cemari, tapi yang lebih sulit di terima adalah banyak intelektual yang bergandeng bersama borjuis.

Seperti kutipan Antonio Gramsci, semua orang pada dasarnya merupakan intelektual, namun tidak semua orang memiliki fungsi intelektual dalam kehidupan masyarakat. Pertanyaan ini muncul kenapa seorang intelektual mempenjarai intelektualya? Jawabannya karena perselingkuhan intelektual dengan borjuis.

Padahal, semestinya inteletual yang dimiliki, dialirkan kepada rakyat yang kondisinya menghadapi  segala persoalan dan penindasan, akibat perselingkuhan antara negara dan borjuis. Namun terkadang kenyataan lebih pahit, intelektual malahan bersanding dan menjilat pantat kekuasaan.

Dalam tahap ini, kita bisa menilai bahwa kondisi penindasan juga diciptakan oleh seorang intelektual yang berselingkuh denggan borjuis. Kita bisa belajar diberbagai negara-negara besar, bahawa dalam proses mempertahankan kekuasaannya mereka kadang mengunakan intelektual  yang siap dibayar.

Keyataan ini juga bisa didapat di Indonesia. Banyak intelek tual yang siap dibayar denggan syarat ia mampu mempertahankan kekuasaan yang menindas. Orentasi ide yang maju, seharusnya disodorkan pada masyarakat, petani desa, nelayan, kaum miskin kota dan buru.

Seperti halnya kutipan Tan Malaka dalam Madilog: Bila kaum muda yang telah belajar di sekolah dan menganggap dirinya terlalu tinggi dan pintar untuk melebur denggan masyarakat yang bekerja denggan cangkul dan hanya memiliki cita-cita yang sederhana, maka lebih baik pendidikan itu tidak diberikan sama sekali.

Kita harus kembali dan melihat bagaimana orentasi universitas yang akhir-akhir ini seperti tempat yang tidak sehat, dan mirip seperti  kuburan. Banyak mahasiswa sudah minim membaca dan diskusi tentang persoalan rakyat.

Orentasi universitas kini menjadi seperti pabrik yang menyediakan tenaga kerja dengan upah mura yang disiapakan untuk mengganti tenaga kerja lama. Orentasi pendidikan bukan lagi mencerdaskan anak-anak Indonesia, tapi melayani kapital yang orentasinya melihat pendidikan sebagai surplus keuntungan, dan intelektual murahan pun lahir dan berkembang di dalam universitas.

Di tengah peran pemerintah yang makin buruk dalam membuat kebijakan, ternyata hal ini juga dikuatkan dengan intelektual yang bercumbu mesra dengan pemerintah. Dalam hal eksploitasi dan penindasan terhadap rakyat inilah kejahatan terbesar seorang intelektual.

Dia mejual ide pada kekuasan dan rela meninggalkan perang pentingnya dalam kehidupan rakyat. Kita bisa meyaksikan semua itu di universitas yang ada di seluruh Indonesia.

Mereka yang menjual ide dan bergandegan tangan dengan kekuasaan, mereka tidak sadar bahwa dari perbuatan mereka telah memutuskan satu harapan rakyat Indonesai dan membunuh mimpi anak-anak Indonesia.

Sebagai seorang intelektual, maka harus memiliki prinsip dan ideologi yang jelas. Berihak kepada penindasan atau berpihak pada mereka yang tertindas.***

 

Penulis:El Dino (Ketua Komite Politik Kota Ternate)