Ternate telah sejak lama hidup berdampingan dengan risiko. Diapit oleh laut dan gunung api, dengan kepadatan penduduk yang tinggi dan laju urbanisasi yang semakin kompleks, kota ini terbiasa beradaptasi di tengah ancaman bencana alam, keterbatasan ruang, serta tekanan lingkungan. Maka ketika gagasan “Menuju Ternate Kota Tangguh” digaungkan hampir dekade yang lalu, bagi Ternate itu bukan sebatas jargon perencanaan, melainkan keniscayaan yang harus dijawab dengan sistem yang nyata dan terintegrasi.
Namun, ketangguhan kota tidak sekadar dibangun dari infrastruktur fisik. Ketangguhan sesungguhnya terletak pada kemampuan sistemik untuk merespons secara cepat, kolaboratif, dan tepat waktu terhadap berbagai bentuk gangguan. Dalam konteks ini, interoperabilitas sistem menjadi jantung dari konsep kota tangguh modern. Ia menuntut sistem kota, baik digital, kelembagaan, sosial, maupun spasial, untuk saling berkomunikasi dan bertindak dalam satu bahasa responsif.
Dari Ketahanan ke Interoperabilitas
Sejak pandemi dan krisis iklim memperlihatkan rapuhnya banyak sistem perkotaan dunia, diskursus tentang resilient city telah berkembang pesat. Laporan UN-Habitat (2022) menekankan bahwa kota yang mampu bertahan bukanlah kota yang memiliki infrastruktur megah, melainkan kota yang sistemnya dapat saling berbicara, data yang dapat dibagikan lintas sektor, dan keputusan yang dapat diambil secara cepat dengan landasan informasi yang terpadu.
Dalam pendekatan ini, interoperabilitas bukan sekadar kemampuan teknis mengintegrasikan sistem informasi. Ia mencakup keterpaduan perencanaan, kolaborasi lintas aktor, dan penguatan kapasitas kelembagaan untuk bertindak sebagai satu kesatuan. OECD (2021) menyebutnya sebagai “prasyarat minimum” dalam membangun ketahanan kota.
Secara lebih spesifik, World Bank (2022) dalam “Interoperability: Towards a Data-Driven Public Sector”, menyebut interoperabilitas sebagai kunci bagi terbentuknya tata kelola publik yang responsif dan berbasis data. Tanpa interoperabilitas, pemerintah daerah dan pihak-pihak terkait rawan bekerja secara parsial, bahkan kontraproduktif dalam menghadapi krisis lintas sektor seperti bencana, pandemi, atau gangguan sistemik lainnya.
Imajinasi Sistemik untuk Ternate Tangguh
Dalam beberapa tahun terakhir, Ternate telah menginisiasi berbagai upaya menuju kota yang tangguh bencana. Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) mulai menyusun sistem informasi kebencanaan berbasis kelurahan, early warning system mulai diterapkan, dan forum komunitas tangguh telah terbentuk di sejumlah titik rawan. Bahkan di pertengahan tahun 2025 ini, aksi yang dilakukan cukup agresif. Langkah-langkah ini tentu patut diapresiasi.
Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa tantangan yang dihadapi tidak kecil. Sistem informasi yang ada, menurut hemat penulis, masih berjalan sektoral. Data spasial, demografi, cuaca, hingga kapasitas infrastruktur layanan dasar berada di tangan OPD, atau sektor yang berbeda-beda—tanpa satu ruang temu digital yang mengonsolidasikannya. Dalam kondisi darurat, informasi datang lambat, tidak utuh, atau bahkan saling bertentangan.
Contoh sederhana: ketika hujan lebat terjadi, belum tentu data dari BMKG, BPBD, Dinas PUPR, dan Dinas Sosial berada dalam satu dashboard yang dapat diakses secara real time oleh semua pihak. Padahal, seperti diingatkan oleh Global Resilient Cities Network (2023), kecepatan dan akurasi data lintas sektor dalam 6–12 jam pertama sering kali menentukan seberapa besar dampak yang bisa dicegah.
Kondisi ini menunjukkan bahwa masih ada pekerjaan rumah besar dalam membangun sistem yang saling terhubung dan responsif. Tanpa interoperabilitas, kota seperti Ternate akan terus bergantung pada mekanisme ad hoc, yang sering kali tidak cukup kuat dalam menghadapi tekanan krisis yang semakin kompleks. Para praktisi dan peneliti “sistem cerdas” sangat paham posisi “ad-hoc” dalam kontinum level kematangan manajemen organisasi.
Membangun Ternate sebagai kota tangguh menuntut keberanian untuk membayangkan ulang bagaimana sistem kota bekerja. Interoperabilitas bukan proyek teknologi, melainkan proyek tata kelola. Kota perlu memiliki satu dashboard risiko—bukan hanya berisi peta rawan bencana, tapi juga menyatukan data kependudukan, jalur evakuasi, kapasitas fasilitas kesehatan, pergerakan transportasi, serta respons logistik secara terintegrasi.
Inspirasi seperti urban digital twin yang diterapkan di Rotterdam dan Wellington dapat menjadi visi jangka panjang. Kota membuat kembaran digital yang terus diperbarui dengan data real-time, memungkinkan skenario darurat disimulasikan dan dimonitor setiap saat. Tapi sebelum sampai ke sana, langkah awal yang bisa dimulai adalah integrasi data sektoral dalam satu platform terbuka.
Namun interoperabilitas bukan semata soal sistem digital, karena sangat mensyaratkan sistem sosial dan kelembagaan yang bekerja dalam ekosistem yang saling percaya. Pemerintah daerah tidak bisa bekerja sendiri. Kolaborasi dengan masyarakat, media, akademisi, dan sektor swasta sangat krusial dalam membentuk arsitektur ketangguhan kota.
Sebagai contoh, masyarakat tradisional di pesisir Ternate selama ini telah memiliki pengetahuan tradisional dalam membaca tanda-tanda alam. Informasi ini, jika disistematisasikan dan dikaitkan dengan data ilmiah dari BMKG atau akademisi, dapat memperkuat sistem peringatan dini. Artinya, interoperabilitas juga berarti membangun “jembatan pengetahuan” antara teknologi modern dan kearifan lokal.
Lebih jauh, interoperabilitas juga menyangkut kerja sama lintas aktor: pemerintah daerah, komunitas, media, sektor swasta, dan lembaga pendidikan. Ketangguhan tidak akan muncul dari sistem tertutup, tetapi lahir dari ekosistem yang terbuka, adaptif, dan saling belajar. Kemampuan menyederhanakan kompleksitas, menyatukan data dan persepsi lintas lembaga, serta mempercepat proses pengambilan keputusan adalah bagian tak terpisahkan dari kota yang resilien.
Menuju Ternate Kota Tangguh Sesungguhnya
Ternate memiliki keunikan topografi, sejarah risiko yang panjang, serta dinamika sosial yang kompleks. Justru karena itulah, kota ini sangat layak untuk menjadi laboratorium kota tangguh berbasis interoperabilitas sistem di wilayah Indonesia Timur. Sistem yang dibangun tidak harus canggih, tetapi harus bekerja. Satu dashboard informasi, satu protokol tanggap darurat, dan satu pemahaman kolektif tentang risiko akan jauh lebih berdampak dibanding sekadar perangkat keras tanpa koordinasi.
Interoperabilitas sistem juga memperkuat akuntabilitas publik. Ketika semua data tersedia secara terbuka dan lintas sektor, maka proses pengambilan keputusan dapat diawasi dan diperbaiki secara kolektif. Ini bukan hanya soal tangguh terhadap bencana, tapi juga tangguh terhadap disinformasi dan miskomunikasi.
Lebih penting lagi, interoperabilitas menumbuhkan kepercayaan. Kepercayaan antar OPD, antara pemerintah dan masyarakat, serta antara Ternate dengan dunia luar yang kini mulai memperhatikan praktik tata kelola yang inovatif di kota-kota kecil dan sedang. Ini adalah modal sosial yang tak kalah penting dari beton dan baja.
Ternate saat ini mungkin berada di simpang penting. Di satu sisi, punya modal sosial dan geografis yang kuat. Di sisi lain, dituntut untuk melompat dari sistem lama yang fragmentaris menuju tata kelola risiko yang kolaboratif dan terpadu. Ini bukan sekadar perubahan teknis, tapi perubahan paradigma.
Ketangguhan bukan slogan, melainkan ekosistem yang hidup, yang dibentuk oleh kerja bersama, data yang terbuka, dan sistem yang berbicara. Maka tugas hari ini bukan hanya membayangkan, tetapi merawat dan mewujudkan interoperabilitas itu dalam aksi konkret. Karena dalam kota seperti Ternate, di mana risiko adalah bagian dari hidup sehari-hari, sistem yang tangguh bukanlah kemewahan, tetapi kebutuhan yang tak bisa ditunda.
Tentu, tulisan ini belum mewakili seluruh kompleksitas persoalan. Penulis menyadari bahwa dalam ruang yang terbatas ini, banyak hal penting yang belum tersentuh atau perlu didalami lebih lanjut. Namun demikian, harapannya tulisan ini bisa menjadi pemantik bagi diskusi yang lebih luas, lebih kolaboratif, dan lebih substansial tentang bagaimana membangun Ternate sebagai kota tangguh yang sesungguhnya. Bukan hanya dalam narasi, melainkan dalam praktik nyata.
Setidaknya, ketika publik ingin mengetahui agenda “Ternate Kota Tangguh”, mereka tidak lagi dipandu ke laman resmi pemerintah kota yang memuat berita usang dari hampir sepuluh tahun lalu, dengan judul “Ternate Menuju Kota Tangguh”. Sudah saatnya narasi ketangguhan Ternate diperbarui, dikontekstualisasikan, dan dibumikan dalam sistem yang bekerja untuk semua. Semoga, tidak akan sesunyi koleganya, air tanah, sanitasi, dan sampah!
Dr. Ir. Husnullah Pangeran
Ketua PW Persatuan Insinyur Indonesia Provinsi Maluku Utara
Tinggalkan Balasan