Waktu berlalu tidak terasa. Morotai telah menjadi laboratorium dari pendekatan pembangunan yang meletakkan infrastruktur fisik sebagai wajah utama kemajuan. Gedung-gedung megah dibangun. Morotai tampil seolah sedang bersiap menjadi Kota Tepi Air strategis Indonesia di bibir Pasifik. Tetapi tersimpan banyak kisah di balik kesan kemajuan itu.
Ketimpangan Terselubung di Antara Beton
Tidak dapat dipungkiri, Puskesmas sudah lebih banyak dari jumlah kecamatan, tetapi pelayanan dasar tetap tertatih. Kehadiran rumah sakit daerah masih belum sepenuhnya menihilkan kematian ibu dan bayi baru lahir. Masih ada pasien perlu dirujuk ke luar daerah karena keterbatasan alat, dokter, atau pelayanan.
Penurunan jumlah sekolah sebagai hasil dari kebijakan konsolidasi atas nama Sekolah Unggulan terlihat teknokratis dan elegan. Namun dalam praktiknya, akses pendidikan menjadi sulit dijangkau oleh sebagian, terutama bagi anak-anak yang tinggal di daerah dengan minimnya sarana transportasi publik. Tidak sedikit yang harus menempuh jarak berkilometer dengan berjalan kaki setiap hari, atau bahkan berhenti sekolah karena beban yang tidak masuk akal bagi usia mereka.
Alih-alih memperkuat layanan pendidikan dasar, kebijakan konsolidasi sekolah terindikasi memperluas ketimpangan. Anak-anak Morotai tidak kehilangan kemampuan belajar, mereka hanya kehilangan jangkauan terhadap hak belajarnya. Sebuah ironi di tengah semangat Indonesia Emas 2045 yang katanya berbasis pada peningkatan kualitas sumber daya manusia.
Fasilitas kesehatan memang tampak ada dan terkesan agung, tetapi belum optimalnya sistem pendukung menjadikan kehadirannya agak semu. Rumah-rumah sakit terbangun dengan peralatan belum sepenuhnya memadai. Pusat Perbelanjaan (Mall) dibangun tanpa lebih dulu memastikan ada yang menjual atau membeli di dalamnya.
Inilah ketimpangan baru yang terselubung di balik beton—pembangunan yang tidak memperkuat ketahanan masyarakat, tapi justru menciptakan jarak baru antara negara dan warganya. Pembangunan didorong oleh kesan estetik, bukan oleh kebutuhan sosial. Fasilitas berdiri megah, namun tidak bernyawa. Bahkan ada kawasan yang harus didemarkasi dengan tembok kokoh selayaknya jalur Gaza – untuk menyembunyikan mereka yang disebut kumuh.
Angka-angka indikator utama pembangunan mencerminkan ini dengan sangat gamblang: Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Morotai masih yang terendah di Maluku Utara, daya beli masyarakat juga paling lemah, dan andil Morotai terhadap ekonomi regional semakin tidak diperhitungkan.
Arah Baru: Pertaruhan Kebijakan?
Pemimpin baru telah hadir dengan langkah yang mungkin mengejutkan sebagian orang, tetapi juga melegakan sebagian lainnya. Hampir sekira >5% belanja daerah akan dialokasikan untuk bantuan langsung tunai (BLT) bagi masyarakat miskin dan rentan (ref: janda & lansia). Ini kebijakan yang tidak biasa, bahkan bisa dianggap tidak populer dalam arena birokrasi yang lebih terbiasa membangun gedung daripada membangun daya tahan masyarakat.
Namun di balik keputusan ini, tersimpan sinyal bahwa kepemimpinan baru sedang mencoba menggeser episentrum pembangunan: dari bangunan fisik ke manusia, dari fasilitas ke fungsionalitas, dari penampakan ke dampak. Ini bukan soal populisme fiscal, melainkan soal keberanian untuk menempatkan rakyat sebagai tujuan, bukan hanya alat justifikasi anggaran.
Meneguhkan Akal Sehat Pembangunan
Arah baru ini tentu saja tidak otomatis menyelesaikan masalah. Ia harus diikuti oleh penguatan ekonomi lokal. Tanpa itu, kebijakan ini akan berakhir sebagai pelipur lara jangka pendek. Namun kita tidak boleh menyepelekan langkah awal yang penting. Setelah bertahun-tahun pembangunan tidak berpihak, sekecil apa pun keberpihakan itu muncul, patut diapresiasi. Dan lebih dari itu—ia harus dijaga. Karena membalik arah pembangunan bukan hanya soal kebijakan, tetapi juga soal kesadaran dan komitmen lintas periode.
Morotai hari ini berada di titik persimpangan antara warisan kebijakan dan peluang untuk mengubah arah. Morotai bukan wilayah yang gagal, tapi wilayah yang oleh sebagian diangap terlalu lama dijejali janji, terlalu sering dikorbankan demi citra, dan terlalu jarang disentuh oleh nalar yang memihak pada rakyat.
Jika beberapa tahun ke belakang adalah tentang citra dan kemegahan, maka lima tahun ke depan harus menjadi tentang fungsionalitas dan keberdayaan. Jika pembangunan fisik relatif bisa dilakukan dengan cepat, maka pembangunan manusia memerlukan kesabaran, keberanian, dan konsistensi.
Morotai bukan sekadar titik geografis di batas negara Indonesia, melainkan wajah dari seberapa serius kita memperlakukan daerah terluar—sebagai halaman belakang atau beranda depan. Jika hari ini rakyatnya masih menyimpan harapan, itu bukan karena mereka belum lelah. Tapi karena mereka percaya bahwa pemerintahan yang mengayomi seharusnya hadir lebih dulu di tempat yang paling jauh, dan paling sunyi.
Mereka yang tinggal di pesisir itu ingin anaknya bisa sekolah tanpa harus menempuh perjalanan yang meletihkan raga dan jiwa. Ibu-ibu yang kesehariannya bergelut dengan pala, cengkeh, dan kopra itu, tak menuntut fasilitas kelas dunia, melainkan melahirkan dengan selamat sembari berharap masa depan anak yang lebih baik. Para pemuda Morotai—yang menggenggam ijazah dengan harapan tipis—tidak bermimpi menjadi ASN di Sofifi atau Jakarta, mereka hanya ingin bisa hidup layak di tanah sendiri, dekat dengan keluarganya, dekat dengan cita-citanya.
Morotai tidak butuh janji, ia hanya butuh dilihat. Morotai tidak meminta dikasihani, ia hanya ingin didengarkan. Di ujung negeri ini, di tengah bentangan laut dan matahari yang hangat, ada harapan yang tetap bertahan meski berkali-kali dikecewakan.
Dan jika air mata bisa mengubah arah kebijakan, maka Morotai sudah layak dihujani perhatian, bukan sekadar dilirik ketika kampanye. Karena sejatinya, pulau ini tidak meminta banyak—ia hanya ingin Negara yang benar-benar hadir, bukan dalam bentuk plakat peresmian, tetapi dalam bentuk tangan yang memeluk, memulihkan, dan ikhlas memberdayakan. Dari Kaki Gunung Bakulu, Podiki De Porigaho!
Dr. Ir. Husnullah Pangeran
Ketua Pengurus Wilayah Persatuan Insinyur Provinsi Maluku Utara
Tinggalkan Balasan