Indoneisa merupakan negara yang memiliki komponen kekayaan sumbar daya alam. Dengan kondisi ekologi yang memdai serta maritim yang terhimpun dari beberapa perbatasan laut, menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara dengan kondisi giografis negara kepulauan.
Kemudian upaya-upaya keberlangsungan Indonesia dalam menata sebuah negara yang maju dalam segi aspek ekonomi domestik internasional dan nasional. Upaya pencapaian serta peningkatan ekonomi yang telah ditetapkan dengan setandar 5,2% target inilah mengharuskan negara untuk menetapkan regulasi percepatan ekonomi sebagai langkah dalam memulihkan ekonomi negara pasca covid-19.
Regulasi-regulasi pun dilakukan untuk mengatisipasi difisit negara salah satunya yang terjadi adalah desentralisasi pertambangan nikel serta smelter. Keberlangsungan dan keharusan ekonomi negara menjadi salah satu upaya dalam pelaksanaan desetralisasi industri guna meningkatkan dan mendorong perkembangan ekonomi daerah ke arah yang lebih efisien.
Namun pada faktualnya konsentrasi pembangunan yang difokuskan pemerintah pusat hanya berpusat pada titik-titik perusahan kapital yang dimana sumber daya alam lainnya hanya dijadikan wacana dan tidak ada keberlanjutan jangka panjang untuk meningkatkan mutuh pendapatan dari hasil percarian masyarakat setempat.
Hal pula terjadi tidak adanya pertimbangan permasalahan yang krusial dalam setiap pembangunan pertambangan yang berdampak buruk bagi masyarakat terkhususnya masyarakat Indonesia timur itu sendiri.
Hasrat pemerintah untuk menjadikan Indonesia sebagai salah satu produsen utama dalam produk yang berbasis pembangunan pertambangan Nikel, Emas Batu Bara, dan Smelter. Upaya ini mengakibatkan kehidupan masyarakat Indonesia timur mengalami dampak-dampak yang terjadi dari pembangunan Industri Nikel, Emas, Batu Bara dan Smelter.
Di mana kondisi ini telah terjadi dibeberapa provinsi daerah timur yang terkenal akan potensi sumber daya minerba terkhususnya nikel, batu bara, emas serta lainnya. Dengan alasan karena tingginya jumlah transis kendaraan yang mengunakan energi fosil ke energi terbarukan serta jumlah permintaan ekonomi global yang tidak terbatas di seluruh dunia bebrapa tahun terakhir, membuat pemerintah Indonesia mulai perupaya untuk ikut serta dalam mengambil bagian dari proses transaksi tersebut.
Sebagaimana yang terkandum dalam pasal 33 ayat 3 dan ayat 4 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dengan menegaskan bahwa “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.
Kemudian ditegaskan dalam regulasi terkait pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup juga diatur melalui UU No. 32 Tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Bahkan, regulasi spesifik terkait pulau-pulau kecil tercantum jelas dalam UU No. 27 Tahun 2007 yang telah diubah menjadi UU No. 1 Tahun 2014 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Selain itu, terdapat Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.20/MEN/2008. Secara garis besar, seluruh regulasi itu mengatur pemanfaatan pulau-pulau kecil sebagai wilayah konservasi, pendidikan, penelitian dan pariwisata. Sehingga praktik pertambanagan di pulau-pulau kecil jelas bertentangan dengan upaya perlindungan dan penyelamatan lingkungan. Dalam pasal 23 Ayat 2 UU No. 1 Tahun 2014. Kemudian dalam Pasal 35 di UU yang sama, juga secara jelas melarng keras penambangan pasir, minyak dan gas, serta mineral.
Penegasan konsitusi ini tidak selalu menjadi landasan pengawalan setiap permasalahan yang terjadi daerah-daerah terhadap dampak dari pada pembangunan industrialisasi. Di mana perizinan untuk pembangunan pertambangan, mestinya pemerintah pusat harusmempertimbangkan serta memperhatikan tidak hanya pada satu aspek saja, yaitu keuntungan atau profit melainkan ada aspek-aspek yang tidak kalah penting, yaitu hak-hak masyarakat terhadap lahan dan dampak yang dikuasai oleh perusahaan, seperti yang hari ini terjadi dibeberapa wilayah daerah khususnya Indonesia Timur.
Maluku Utara, Ambon, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Papua dan NTT NTB, adalah bagian dari pada akumulasi kepualaun daerah Indonesia Timur yang memiliki potensi sumber daya alam tidak terbatas. Kosensus ini lah yang menjadi sorotan pemerintah pusat untuk menjadikan Indonesia sebagai sentralisasi peningkatan ekonomi negara.
Kondisi ini yang ditanggapi dengan ambisi presiden Joko Widodo untuk menjadikan Indonesia sebagai sentralisasi produsen baterai nomor satu di dunia yang diungkapkan dalam pidato Groundbreaking pabrik baterai Hyunda-LG di karawang, Jawa Barat (15/09/2021). Untuk mencapai ambisi yang begitu besar, hal ini tidak terlepas dari besarnya cadangan sumber daya nikel yang ada di Indonesia.
Pada tahun 2019, permintaan global didominasi oleh industri Stainless-steel, sementara kebutuhan baterai hanya sebesar 5-8%. Kondisi tersebut akan terus meningkat sesuai dengan keterbutuhan dan permintaan pasar akan Mobil Listrik.
Ambisi itu kemudian dibuatkanlah regulasi pengesahan Undang-Undang No.4 Tahun 2009 tentang Minerba, implikasi dari terbitnya aturan tersebut mendorong keluarnya ratusan perizinan usaha pertambangan nikel diseluruh Indonesia. Hingga pada tahun 2021 telah diterbitkan 293 izin usaha pertambangan dan “4 Kontrak Karya Pertambangan Nikel” diseluruh Indonesia. Hingga sampai pada tahun Desember 2023, terdapat 218 izin usaha pertambangan yang mengkapling 34 pulau kecil di Indonesia.
Total luas konsesi dari seluruh perusahaan itu mencapai 274.549,57 hektar ekspolitasi oleh pertambangan terhadap pulau-pulau kecil mengakibatkan kerentanan alami yang dihadapi masyarakat pesisir.
Seperti yang telah terjadi akhir-akhir ini di Pulau Wawoni, Provinsi Sulawesi Tenggra, pulau Gebe Gee, Pakal, dan Pulau Mabuli di Provinsi Maluku Utara, Pulau Gag di Provinsi Papua Barat. Tidak cukup sampai disitu di Provinsi Sulawesi telah terbit izin usaha pertambangan sebanyak 293 untuk komoditas nikel yang terbagi atas 3 Provinsi (Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Tenggara). Dari keseluruhan dari konsesi pembangunan pertambnagan dengan komoditas nikel tersebut relokasi lahan yang tercatat 639.403,26 hektar lahan atau diangka 66,9% dari total luas tutupan hutan yang ada di daerah Sulawesi.
Sejalan dengan ambisi pemerintah pusat untuk meningkatkan izin usaha pertambangan untuk komoditas nikel, tentu yang terjadi adalah pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), kerusakan lingkungan, Deforestasi, Perampasan Ruang, Hingga Pemiskinan rakyat juga semakin massif.
Sebagaimana yang terjadi di Pulau Wawonii, sudah tercacat ada beberapa kasus kekerasan yang dilakukan oleh pihak perusahan terhadap masyarakat Pulau Wawonii,. 35 warga Wawonii yang melakukan penolakan terhadap pertambangan mengalami dampak dikriminalisasi. Selain itu, operasi aktivitas yang dilakukan PT Gema Kreasi Perdana (Anak usaha Harita Group) itu, juga mempengaruhi ekosistem lingkungan, seperti pencemaran sumber air masyarakat Wawonii yang memicu munculnya penyakit gatal-gatal, hingga air laut keruh-keoklatan akibat limbah dan ulah pertambangan.
Demikian juga hal yang sama dialami oleh masyarakat Pulau Sangihe yang sudah tercatat ada 32 orang yang mengalami dampak dikriminalisasi. Trend kriminalisasi tersebut seringkali menggunakan pembelaan dengan sejumlah regulasi yang sudah diatur dalam Undang-Undang No 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Minerba, terutama Pasal 162 tentang merintangi atau menggangu aktivitas tambang.
Pasal ini seringkali digunakan untuk pembenlaan terhadap perusahan dalam menyikapi gerakan dari pada masyarakat setempat. Tidak sampai di situ, pertambangan juga menggunakan delik-delik Undang-Undang sebagai pembenaran dan pembelaan seperti UU No 1 Tahun 1956 tentang KUHP, Pasal 160 tentang Penghasut, Pasal 170 tentang Kejahatan terhadapa ketertiban umum, Pasal 558 tentang penggunaan kekerasan secara Bersama-sama, Pasal 333 tentang Perampasan Kemerdekaan, serta beberapa pasal-pasal lainnya untuk digunakan oleh pihak pertambangan sebagai bahan pembelaan dan pembenaran terhadap masyarakat yang melakukan gerakan penolakan aktivitas pertambangan serta masyarakat yang berupaya untuk menuntut hak-hak nya yang diambil oleh pihak pertambangan.
Untuk itu, selaku putra daerah yang berafliasi dari beberapa Organisasi Daerah Timur sangat berterimakasih atas “kadoh terindah” yang diberikan Presiden Joko Widodo selama memimpin Indonesia atas kerusakan ekologi dan ekosistem dari dampak desentralisasi pembangunan pertambangan minerba di wilayah Indonesia Timur. ***
Sukardi Latif, mahasiswa dari Haliyora.
Tinggalkan Balasan