“Kau, harus pulang, Langit”. Kataku di suatu senja.
Dia menoleh tanpa suara. Bunyi gesekan daun jambu depan teras rumah mengisi jarak hening yang hampir saja membuatku merontak.
3 Jam sudah berlalu semenjak dia mengetuk pintu rumah ku dan mengabari tentang wanita pilihan orang tuanya yang harus dia nikahi. Saat itu, kata bijak tentang ‘cinta yang tak harus memiliki’ sangat sulit dicerna oleh logika ku.
Sebagai perempuan, aku telah mencoba menyulam senyum diantara sayatan luka yang menganga, tapi gagal dalam waktu singkat hanya karena air mata yang tak bisa ku ajak damai. Aku mencoba berbisik pada diriku untuk tidak menghabiskan waktu untuk menangisi seseorang yang hatinya entah untuk siapa, tapi……….
Aku menutup wajahku dengan kedua tangan ku.
“Pulanglah, Langit”. Pelanku lalu berlalu masuk kedalam rumah dan membanting pintu sekeras – kerasnya.
Didalam, aku tak bisa beranjak. Dari balik pintu terdengar suara hujan yang turun begitu deras.
Aku mulai gusar, haruskan ku buka kembali pintu dan menawarkan secangkir kopi untuknya? Ataukah membiarkan dia membeku di teras rumah bersama sisa waktu yang akan menjadi kenangan.
Ternate, 2018 09 21 Queenissa Autmn
Tinggalkan Balasan